Kisah Romantis Heldy Djafar, Cinta Terakhir Bung Karno yang Jarang Diekspos


Kisah via konfrontasi.com

Nama Heldy Djafar memang terdengar asing bukan, namun tahukah Anda ada kisah cinta yang sangat menyentuh dibalik nama ini.

Dari sembilan istri Presiden Sukarno, nama satu itu mungkin cukup jarang disebut. Padahal, ia juga punya cerita yang tak kalah romantis dan dramatis.

Heldy Djafar (lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Provinsi Borneo, Indonesia, 11 Juni 1947; umur 71 tahun) adalah istri kesembilan Soekarno, ayah Heldy yang bekerja di perusahaan Belanda Oost Borneo Maatschapij (OBM) pun berhenti. Heldy Djafar, dari sembilan istri Sukarno, nama satu itu mungkin cukup jarang disebut. Padahal, ia juga punya cerita yang tak kalah romantis dan dramatis. Bagaimana kicah cinta Heldi Djafar dan Presiden Soekarno? Simak kisah lengkapnya berikut ini.

Heldy Djafar, terpaksa mengakhiri perkawinannya dengan Bung Karno karena tak bisa lagi bertemu akibat situasi politik pada saat itu. Riwayat hidup dan cinta Heldy Djafar, perempuan terakhir yang dinikahi Bung Karno di penghujung masa kekuasaannya. Siapa sesungguhnya Heldy ini? Inilah kisahnya.

Kisah Heldy Djafar, Cinta Terakhir Bung Karno

Suatu pagi yang panas di tahun 1957, di sebuah rumah besar di Jalan Mangkurawang 9, Tenggarong, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Heldy, gadis kecil berusia 10 tahun, menangis meraung-raung gara-gara tak diajak kakak-kakak nya ke Samarinda. Hari itu, Presiden Sukarno berpidato di alun-alun Samarinda.

Sang kakak tak mengizinkan Heldy pergi karena selain perjalanan ke Samarinda hanya bisa dengan kapal menyusuri S. Mahakam selama dua jam, suasana akan sangat ramai setiap kali Presiden Sukarno berpidato. Maka Heldy hanya bisa mendengarkan pidato Bung Karno di radio. Bagi Heldy, yang penting bukanlah isi pidato, melainkan kebesaran dan ketokohan sosok yang fotonya banyak terpasang di dinding rumah orangtuanya itu.

Diramal akan mendapat orang besar 

Lahir sebagai bungsu dari sembilan besaudara anak-anak pasangan H. Djafar yang seorang pemborong terpandang di Tenggarong dan Hj. Hamiah, pada 10 Agustus 1947, Heldy merasa selalu mendapat curahan perhatian keluarga. Kakak-kakaknya adalah Zubaedah (perempuan), Erham (laki-laki), Milot (perempuan), Ruslan (laki-laki, sering dipanggil Yus). Badrun (laki-laki), Johan (laki-laki), Abu (laki-laki), dan Erni (perempuan).

Ketika mengandung Heldy, Hj. Hamiah sempat melihat bulan purnama bulat utuh. Lalu teman ayahnya, seorang pria Tionghoa, mengatakan, “Nanti kalau bayimu lahir, harus dijaga ya, sampai dia beranjak dewasa.”

Saat Heldy duduk di bangku SMP, seorang tante (dalam bahasa Kalimantan adalah “mbok”), Mbok Nong, yang dianggap pandai meramal, mengatakan kepada Ibu Heldy, “Wah, anakmu ini kelak jika dewasa akan mendapatkan orang besar. Jadi tolong dijaga baik-baik ya.”

Si bungsu yang cantik dan berkulit putih itu selalu dilindungi dan dimanjakan. Ketika remaja, Heldy juga pandai mengaji hingga memenangi lomba
baca Al Quran. Ayahnya paling senang merasakan kakinya dipijat si bungsu sambil melafazkan ayat-ayat Al Quran, sampai terlelap.

(Saat Fidel Castro Terperangah Melihat Tongkat Bung Karno)

Tamat sekolah dasar (waktu itu disebut Sekolah Rakyat), Heldy melanjutkan ke SMP Gunung Pedidi di Jln. Rondong, Demang, Tenggarong. Menjelang naik ke kelas 3, terjadi proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Ayah Heldy yang bekerja di perusahaan Belanda Oost Borneo Maatschapij (OBM) pun berhenti. Dalam rangka mencari pekerjaan, H. Djafar memboyong keluarganya pindah ke Samarinda. Heldy pun meneruskan kelas 3 SMP-nya di sebuah sekolah Katolik di Samarinda.

Setelah lulus SMP, Heldy yang sudah tumbuh menjadi remaja putri 16 tahun dan berperawakan mungil itu pun pergi mengikuti jejak kakak-kakaknya ke Jakarta untuk menuntut ilmu. Cita-citanya menjadi desainer interior. Dari Samarinda naik kapal menyusuri sungai menuju Balikpapan, lalu dari Pelabuhan Semayang, Balikpapan, naik kapal laut Naira yang besar. Heldy ditemani Milot dan Izhar, iparnya, serta bayi satu bulan anak terkecil Milot, Achmad Rizali Noor. Berlayar sepanjang malam menuju Surabaya, dan dari sana disambung naik kereta api sehari semalam ke Jakarta.


Heldy via oautobiografi.id

Barisan Bhinneka Tunggal Ika 

Heldy tinggal di rumah Erham yang saat itu telah berkeluarga dan memiliki tiga anak, di Jln. Ciawi III No. 4 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sana juga ada dua keponakan istri Erham, Sofini dan Maryati. Ada pula dua sepupu Heldy yakni Kartini dan Nur, juga Johan, kakak laki-laki Heldy. Heldy banyak membantu kakak iparnya di dapur.

Ia juga pandai menjahit baju. Erham yang bekerja di sebuah bank swasta punya penghasilan besar, jadi tidak masalah menampung banyak kerabat di rumahnya. Sementara Yus, salah satu kakak Heldy yang kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tinggal di Asrama Mahasiswa Kalimantan Timur di Jakarta Pusat.

Yus seorang aktivis. Ia Ketua Perhimpunan Mahasiswa Kalimantan Timur, akrab dengan pelbagai kalangan. Dalam suatu acara ia mengajak Heldy yang saat itu sekolah di Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) – kemudian berubah menjadi Sekolah Kepandaian Keputrian Atas (SKKA) dan sekarang menjadi Sekolah Menengah Kepandaian Keputrian (SMKK) – di daerah Pasar Baru. Rupanya kecantikan Heldy menjadi perbincangan di kalangan mahasiswa.

Adji, salah seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, bahkan menyatakan cintanya. Padahal ada beberapa pemuda yang juga naksir. Guru kimia yang mahasiswa Fakultas Kedokteran, Zulkifli TS Tjaniago, misalnya. Atau guru pelajaran tekstil, Arnauly, juga sering memberi perhatian besar dan mengunjungi Heldy.

Selain cantik, Heldy juga pernah memenangi lomba mengenakan kebaya. Ia luwes, terbiasa mengenakan busana tradisional Kalimantan. Majalah
Pantjawarna menampilkannya pada cover.

Karena jejaring aktivitasnya Yus juga dipercaya pihak protokol Istana Negara untuk menyiapkan barisan Bhinneka Tunggal Ika. Barisan yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno itu terdiri atas remaja putra-putri dari pelbagai provinsi. Mereka bagian dari protokol Istana, selalu berdiri berjajar sebagai pagar ayu dan pagar bagus di setiap acara. Heldy yang saat itu kelas 2 SKKA terpilih mewakili Kalimantan. Demikian juga sepupunya dan keponakan istri Erham.

Suatu hari di tahun 1964, Heldy berdiri berjajar di tangga Istana Merdeka bersama anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika. Ia mengenakan kebaya warna pink dengan kain lereng, berselendang, dan rambutnya disanggul hasil penataan Minot, kakak perempuannya. Hari itu Presiden akan menyambut tim bulutangkis yang baru merebut Piala Thomas.

Tibalah saatnya Bung Karno muncul dan berjalan menapaki anak tangga. Seperti biasa, ia berjalan sambil mengamati kiri dan kanan. Memandang satu demi satu anggota barisan, tersenyum, dan tepat di depan Heldy, Bung Karno mendekat dan menepuk bahu kirinya.

“Dari mana asal kamu?”

“Dari Kalimantan, Pak,” jawab Heldy kaget dan gemetar.

“Oh, aku kira dari Sunda. Rupanya ada orang Kalimantan cantik.”

Ada rasa bangga, khawatir, deg-degan dalam diri Heldy. Orang yang selama ini hanya bisa dilihat lewat foto dan didengar suaranya lewat radio, menepuk dan menyapanya. Pertemuan pertama yang penuh ketegangan namun sangat berkesan.

Yus yang melihat dari kejauhan, dihampiri staf protokol Istana. “Lihat, adikmu mendapat perhatian dari Presiden. Baik-baik dijaga,” kata staf itu. Yus tak tahu maksud nasihat itu.

Pertemuan kedua terjadi saat Heldy dan kawan-kawan mendadak diminta pihak sekolah menjadi barisan Bhinneka Tungga Ika ke Istana Bogor. Semua keperluan sudah disediakan lengkap. Kain, kebaya, cemara untuk sanggul, selop, juga Ibu Maryati, seorang penyanyi keroncong yang akan mendandani. Mereka tinggal naik bus menuju Bogor.

Dengan kebaya pinjaman, dan semua yang serba bukan ukuran dirinya, Heldy merasa tidak nyaman. Kebayanya kedodoran, sanggulnya kendor . Heldy berdiri di sudut yang tidak mencolok, takut dilihat Presiden Sukarno.

Saat Presiden lewat, ternyata perhatiannya malah tertuju pada Heldy. Lewat ajudan ia meminta Heldy mendekat.

“Sanggulmu salah, bukan begini. Juga kebaya dan kainmu. Siapa yang mendandanimu?”

“Ibu Maryati, Pak,” jawab Heldy polos sambil menunduk. Kakinya gemetar. Hatinya berdebar. Pertemuan kedua yang sungguh merontokkan mentalnya.

Beban mental Heldy belum lepas saat terjadi pertemuan ketiga. Pada suatu kesempatan, Presiden meminta para anggota barisan menyanyi satu demi satu. Heldy tak menyangka disuruh tampil pertama. Di tengah rasa grogi bercampur tekad untuk memperbaiki diri karena pernah ditegur, Heldy pun memilih lagu daerah Kalimantan. Pikirnya, “Kalau salah tidak ada yang tahu.”


Heldy djafar via autobiografi.id

Di luar harapan Heldy, Presiden memintanya mengulang. Maka dengan keringat bercucuran, Heldy pun mengulang lagu yang berkisah tentang saat panen padi itu.

Masa-masa ujian mental pun lewat. Heldy dan banyak remaja lain makin sering bertugas, kecuali di pagi hari saat ia sekolah. Selain senang karena berjumpa dengan Bung Karno dan para tamunya, mereka juga mendapat honor. Biasanya, setiap habis bertugas, mereka sering berkumpul dan berbagi cerita. Bagi kelima gadis yang tinggal di rumah Erham, itu menjadi bahan obrolan seru.

“Kalau Presiden naksir di antara kita, ada yang mau tidak?” tanya salah seorang sepupu.

Semua menjawab, “Mau …!” Kecuali Heldy.

“Lho, kenapa tidak, Heldy?”

“Ya, tidak mungkinlah. Beliau Presiden, tidak mungkin naksir kita.”

Setelah itu, aktivitas Heldy sebagai anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika malah agak menurun. Selain acara kebanyakan diadakan di pagi hari, Heldy juga sempat menjalani operasi amandel.

Tapi suatu penugasan baru mengharuskannya ikut. Heldy mempersiapkan diri dengan saksama. Ia meminta Minot memasangkan sanggul dengan sempurna. Kain milik sendiri, demikian pula kebaya warna hijau yang sangat pas di badan.

Ketika acara mulai, Heldy tetap mengambil posisi sudut. Tapi Presiden malah memintanya mendekat. Mental Heldy langsung jatuh. Kesalahan apa lagi kali ini? Gadis 18 tahun itu melangkah pelan dengan kaki gemetaran.

“Ke mana saja kau, sudah lama tidak kelihatan?” Rupanya presiden memperhatikan.

“Sakit, Pak,” jawab Heldy dengan suara lirih tercekat.

“Bohong, kau pacaran. Saya lihat kau di Metropole sedang menonton film.”

“Tidak, Pak,” kali ini Heldy berani mengangkat muka. Tapi pertanyaaan bertubi-tubi mengubur kembali nyalinya. Heldy kembali tertunduk.

“Nanti kau lenso sama aku ya. Sini, kau duduk dekat aku,” kata Presiden.

Saat menari lenso pun tiba. Heldy yang untungnya sering diajari kakaknya menari lenso, tahu harus melakukan apa. Tapi berlenso dengan Presiden? Oh, tidak.

Di hadapan banyak tamu penting, juga artis penghibur yang lebih senior seperti Titiek Puspa, Rita Zahara, dan Feti Fatimah, Heldy menyambut uluran tangan Presiden. Dengan ragu ia memberikan telapak tangan kirinya yang dingin untuk digenggam Bung Karno, sementara ia harus meletakkan tangan kanannya di bahu kiri Bung Karno. Ia menunduk, membiarkan pinggang kecilnya dipeluk Bung Karno yang terus-menerus menatapnya.

“Siapa namamu?” tanya Bung Karno sambil berbisik.

“Heldy,” jawabnya pelahan.

“Sekolahmu?”

“Kelas dua SKKA.”

“Berapa umurmu?”

“Delapan belas tahun.”

“Hm … cukup.”

“Boleh aku datang ke rumahmu?”

Heldy dihadapkan pada kenyataan seperti sering dicandakan para sepupu. Kalau Presiden naksir, banyak gadis yang mau. Heldy tersudut pada keadaan tak bisa menolak, ia pun mengalami bukti nyata sesuatu yang dia anggap mustahil: presiden naksir anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika.
Tapi, apa makna perkataan Bung Karno, “Hmm … cukup” tadi?

Pikiran berkecamuk di tengah ketegangan. Keringat bercucuran, hatinya berdegup dalam gerakan tari lenso. Antara sadar dan tidak, Heldy mendengar suara banyak orang bernyanyi, Baju hijau siapa yang punya, baju hijau siapa yang punya/Baju hijau siapa yang punya, baju hijau Bapak yang punya.

Makin lama makin gaduh. Ternyata itu malah mengembalikan kesadaran Heldy. Matanya menyapu ruangan mencari-cari orang berbaju hijau. Baru ia sadar, ia satu-satunya y ang berbaju hijau . Tapi apa makna ”Bapak yang punya”?


Kisah cinta via news-radit.blogspot.com

Bung Karno jatuh cinta lagi 

Sejak acara menari lenso, keadaan langsung berubah bagi Heldy. Ia sering diamati, juga ada anggota Cakrabirawa, pasukan pengamanan Presiden, yang selalu menjaganya. Akibatnya, mahasiswa seperti Adji dan Zulkifli mundur teratur dari hasratnya mendekati Heldy.

Tanggal 12 Mei 1965, Bung Karno berkunjung ke rumah Erham tempat Heldy tinggal. Sebelumnya sejumlah “orang Istana” datang. Mereka antara lain meminta agar ketika Presiden datang, lampu teras dimatikan.

Presiden datang dengan penampilan yang sangat berbeda. Tanpa peci, celana panjang hitam, kemeja putih lengan pendek yang kancing atasnya terbuka, bahkan mengenakan sandal. Presiden Republik Indonesia datang ke rumah Erham untuk mengunjungi adik bungsunya. Ini nyata.

Kebetulan, saat itu H. Djafar juga ada di Jakarta. Maka ayah Heldy yang berusia 65 tahun dan Bung Karno yang berusia 64 tahun pun bertemu. Setelah saling mengucapkan salam, H. Djafar pun masuk. Heldy menghidangkan teh yang dibuatnya sendiri di dalam cangkir terbaik yang ada di rumah itu.

Bung Karno menyatakan ketertarikannya kepada Heldy, namun Heldy merasa masih terlalu muda. Heldy meminta agar Bung Karno memilih perempuan lain saja. Tapi Bung Karno tidak marah. Ia tersenyum saja dan memberikan sebuah bungkusan kecil. Isinya jam tangan Rolex.

Kemudian Bung Karno mengajak pergi mencari makan malam. Heldy mendampinginya di jok belakang VW Kodok yang dikemudian Darsono dan didampingi ajudan Kolonel Parto. Sementara Erham ikut di mobil lain bersama rombongan yang keseluruhan berjumlah tiga mobil. Mereka menuju ke daerah Sampur untuk membeli sate ayam langganan Bung Karno.

Dalam perjalanan itulah Bung Karno berbicara lagi tentang ketertarikannya kepada Heldy.

“Dik, kau tahu. Kau tidak pernah mencari aku, aku juga tidak mencari engkau. Tapi Allah sudah mempertemukan kita.” Bung Karno selalu memanggil Heldy dengan sebutan Dik, dan belakangan ia juga menolak Heldy memanggil Pak. Ia ingin Heldy memanggilnya Mas.

Setelah kunjungan pertama, kunjungan berikutnya makin sering. Bung Karno sering tiduran di sofa menunggu Heldy, kadang mengajak Johan beradu panco. Bung Karno selalu memberi uang yang jumlahnya tidak sedikit. Saat Hj. Hamiah ke Jakarta Bung Karno juga memberi uang. Belakangan Heldy diberi mobil Holden Premier warna biru telur asin. Heldy jadi sering ke Istana .

Orang makin tahu bahwa Heldy adalah kekasih Bung Karno. Keadaan ini membuat dirinya repot. Ke sekolah selalu dalam pengawalan, pun dengan penampilan dan wangi parfum yang beda dengan teman-teman nya.

Akhirnya Heldy memutuskan untuk bersekolah di rumah. Ia memanggil guru, juga menambahi pelajaran bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Gadis belia dari Tenggarong itu pun harus sering bersanggul dan berkebaya, mengenakan selop setinggi 7 cm. Seorang sepupu bernama Eka Rosdiana diangkat menjadi sekretarisnya.

Hadiah dari Bung Karno mengalir terus tanpa pernah diminta. Heldy mendapat rumah atas namanya sendiri di Jln. Cibatu (kini Jln. Prof. Djokosutono). Mobil Holden Premier pun diganti Mercedes Benz 220 S warna hitam bernomor polisi tanggal lahirnya, B 1008. Jika berkunjung, Bung Karno sering hanya minta telur rebus yang disantapnya dengan kecap. Sepengetahuan Heldy, Bung Karno jarang makan daging. Nasi pun hanya sedikit.

Dari Bung Karno Heldy belajar banyak hal. Tentang kehidupan, tentang cara berpakaian, cara merawat badan, juga membangkitkan kebanggaan sebagai perempuan Indonesia dengan kebaya khas Indonesia.

Lewat salat berdua yang sering mereka lakukan di Istana, Heldy belajar tentang agama. Ketika sepulang dari berziarah ke makam ayah Bung Karno, R. Soekemi Sosrodihardjo, di Karet, Jakarta Pusat, Bung Karno melihat seekor kecoa menggelepar-gelepar dalam posisi badan terbalik, ia memerintahkan ajudan untuk membalikkan badan kecoa itu. Heldy menyimpulkan betapa Bung Karno sangat welas asih bahkan terhadap binatang.


Cinta terakhir via manuvr.co

Ayah tak sempat mendampingi di pernikahan 

Suhu politik memanas di akhir September 1965. Bung Karno disibukkan oleh urusan politik sehingga Heldy jarang ke Istana. Bung Karno juga jarang ke Jln. Cibatu. Pada 1 Oktober datang ajudan membawa kabar bahwa Presiden baik-baik saja. Beberapa hari kemudian datang lagi ajudan untuk menjemput Heldy. Tetap dengan kain dan kebaya, ia naik jip menuju Istana.

Di sepanjang jalan banyak tentara bersiaga. Suasana tegang. Sesampai di Istana, Heldy tak mendapati sambutan Bung Karno seperti biasanya. Bung Karno sedang tiduran di kamar. Raut wajahnya terlihat letih.

“Mas agak capek,” kata Bung Karno. Ia mencium pipi Heldy, Heldy pun menyambut kecupan itu dengan penuh rindu. Bung Karno banyak bercerita, sementara Heldy tak berani bertanya tentang peristiwa G30S yang didengarnya di radio.

Bulan Mei 1966, sudah hampir setahun Heldy menjadi kekasih Bung Karno. Itu waktu yang cukup bagi Bung Karno untuk meminta kesediaan Heldy menjadi istrinya.

Heldy diam sesaat. Ia tahu benar keadaan negara sedang gawat. Ia juga tahu Bung Karno telah memiliki beberapa istri sebelum dirinya. Siti Oetari Tjokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi, Haryatie, Kartini Manoppo, dan Yurike Sanger. Hanya dengan Yurike ia kenal karena pernah sama-sama menjadi anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika.

“Yang aku cari bukan wanita yang cantik luarnya saja. Tapi juga dalamnya, dan itu ada dalam dirimu. Kau sungguh menarik bagiku, dan kau juga bisa beribadah dan mengerti baca Al Quran, ini yang aku cari sesungguhnya.”

“Saya tidak bisa menolak lamaran Bapak, hubungan kita sudah telanjur dekat. Saya mau menikah dengan Bapak,” jawab Heldy sambil menatap Bung Karno.

Tanggal pernikahan pun dipilih, 11 Juni 1966 alias lima hari setelah Bung Karno berulangtahun ke-65. Berita bahagia segera dikabarkan ke Kalimantan. Ayah Heldy yang bersuka cita bergegas ke Jakarta. Sayang, baru sampai di Samarinda dadanya sakit dan ia dibawa kembali ke Tenggarong. Sehari sebelum akad nikah putrinya, H. Djafar meninggal dunia karena serangan jantung.

Heldy menjalani upacara pernikahan dengan penuh keprihatinan. Tak ada musik, tak ada gamelan, tak ada kemeriahan. Tak ada harum bunga, tak ada kebaya khusus. Ia hanya bisa memohon petunjuk Tuhan, dan dalam doa minta izin ayahnya untuk menikah dengan Ir. Sukarno.

Bung Karno menikahi Heldy Djafar dengan disaksikan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Idham Chalid, Erham Djafar selaku wali, dan Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri. Bung Karno dan Erham berjabatan erat, kedua saksi mendengarkan kata yang terucap dari bibir Bung Karno.

“ … dengan emas kawin sebuah gelang emas putih bermata berlian dengan kadar enam karat ….”

Surat nikah yang telah ditandatangani oleh saksi dan wali itu dipegang Idham Chalid. Saksi yang juga Menteri Agama menyatakan,”Ya, Yang Mulia,
sah pernikahan ini.” Hati Heldy kelewat girang sehingga lupa meminta surat itu.

Menjelang sore, Bung Karno menemui Heldy dan mengajaknya ke kamar. Heldy agak takut dan berlari ke kamar mandi. Bung Karno menyusul, Heldy kembali ke kamar tidur.

“Maaf Mas, ee … Mas, saya pasrah.”

Bung Karno biasa tidur di atas pukul 22.00. Kebiasaannya, jika akan tidur minta dipijat kakinya. Persis almarhum ayah Heldy. Bung Karno suka menyandarkan kepalanya di dada Heldy, membiarkan Heldy mengelus-elus rambut dan kepalanya sampai terlelap. Lalu, setelah merasa ingin tidur, Bung Karno pindah posisi ke belakang punggung Heldy. Ia memang seorang perayu dan pandai memuaskan wanita.

“Engkaulah wanita yang selama ini aku cari, engkau wanita yang aku cintai, engkau cinta terakhir bagiku. Jangan permainkan aku ya,” katanya sambil terus menciumi kulit Heldy yang putih. Sehabis bercinta, biasanya keduanya mandi dan dilanjutkan dengan salat bersama, Bung Karno menjadi imam.

Minta izin untuk menjauh

Di suatu siang, sejumlah anggota Corps Polisi Militer (CPM) datang ke rumah Heldy dan memeriksa. Mereka menyatakan, mulai malam itu, penjagaan dan pengawalan dihapuskan. Bung Karno tidak boleh lagi datang karena rumah itu tidak layak dikunjungi Presiden. Bung Karno akan tinggal di rumah Yurike Sanger di daerah Polonia, Jakarta Timur. Heldy harus ke sana kalau ingin bertemu .

Sungguh situasi yang menyakitkan perasaan. Ia bertemu dengan Bung Karno di depan tatapan pemilik rumah. Meski dulu keduanya berteman, tapi Heldy menangkap rasa cemburu dalam diri Yurike. Apalagi Bung Karno sering menunjukkan kelebihan Heldy kepada Yurike.

Telepon, kirim utusan, atau surat yang diantar ajudan dari Presiden kepada Heldy tak selancar hari-hari sebelumnya. Heldy juga sering mendapat telepon dengan nada meneror, melarang dia mengunjungi Bung Karno di Polonia. Heldy bimbang dan harus menahan perasaan. Ia tahu, sebagai salah satu istri memang tak selalu bisa berada di dekatnya. Ia juga tahu bahwa situasi politik makin membatasi dirinya untuk bertemu dengan Bung Karno. Maka dalam suatu kesempatan bertemu, Heldy memberanikan diri bicara, “Mas, saya tidak tahan lagi dengan situasi ini. Kita tidak bisa terus bersama, dan kalau bertemu harus di rumah orang lain. Saya mohon izin untuk menjauh dari Mas.”

“Dik, aku tidak mau pisah sama kau. Kau cinta terakhirku. Kecuali aku pulang ke Rahmatullah.”

Air mata Heldy membasahi tangan Bung Karno yang diciumnya. Ia ingin menjelaskan betapa menderita dirinya selama ini, tapi itu semua di simpannya karena tak ingin menambah beban pikiran Bung Karno. Ia kehilangan orang yang sudah mengangkat namanya, orang yang sudah mengenalkan keagungan cinta kepadanya, orang yang pernah mengukir hatinya demi cinta, dan orang pertama yang pernah menyentuh dirinya, tanpa tahu apakah akan mendapatkannya kembali atau tidak. Di sisi lain ia harus berani menentukan jalan hidupnya ke depan.

“Mas … saya pergi.”

Meski tak pernah lagi bertemu, Bung Karno masih sering mengirim surat, memberi hadiah atau uang kepada Heldy. Tapi sebaliknya, surat-surat Heldy tak pernah dibalas. Belakangan Heldy tahu, Bung Karno tak lagi tinggal di rumah Yurike, tetapi di Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto, rumah Ratna Sari Dewi. Hanya sedikit orang yang boleh datang menjenguk, dan itu tidak termasuk Heldy.

Suatu malam, saat naik mobil mencari makan, Heldy bertemu mobil Ford yang ditumpangi Bung Karno. Sesaat keduanya melepaskan rindu di dalam mobil.

“Sudah, masuklah ke mobilmu lagi, aku mau pulang ke Wisma Yaso. Jaga dirimu ya.” Keduanya berpisah dalam langit Jakarta yang menghitam. Itulah pertemuan terakhir mereka.

Kembali pada kehidupan semula, menyebabkan para pemuda kembali mendekat. Salah seorang yang serius adalah Gusti Suriansyah Noor, putra Pangeran Mohamad Noor dari Istana Kutai Kartanegara yang pernah menjadi Menteri Pekerjaan Umum. Insinyur lulusan ITB yang juga berkarir di Departemen Pekerjaan Umum itu sesungguhnya sudah menaruh hati sejak Heldy masih kecil di Tenggarong .

Tapi tak semua anggota keluarga setuju. Maka Heldy salat istikharah untuk memohon petunjuk Tuhan. Ibunya, Hj. Hamiah, memberi pendapat, “Paling enak ya memiliki suami sendiri, bukan suami yang punya banyak orang. Kamu bisa memiliki seutuhnya.”

Pada 19 Juni 1968 Heldy, dalam usia menjelang 21 tahun, resmi menjadi istri Gusti Suriansyah Noor. Ia mendampingi suaminya di Departemen Pekerjaan Umum, juga aktif di Dharma Wanita. Ia tinggal di rumah dinas, sementara rumah pribadinya dikontrakkan sehingga ia memiliki penghasilan sendiri. Pada tahun 1969 mobil Mercedes ditarik oleh negara, dan Bung Karno memberi Heldy uang untuk membeli mobil pengganti. Ia memilih Fiat yang saat itu sedang trendy .

Dalam perjalanan selanjutnya, lahirlah enam anak. Anak kedua, Gusti Maya Firanti Noor, kemudian diperistri Haryo Wibowo Harjoyudanto alias Ari Sigit, cucu Presiden (saat itu) Soeharto. Jauh sebelumnya seorang kenalan asal Belanda, Frans Backer, membaca garis tangan Heldy dan mengatakan, salah satu anaknya akan menaikkan derajat orangtua. Walau akhirnya perkawinan Maya – Ari kandas setelah memiliki tiga anak, ramalan itu terbukti.

Sabtu 20 Juni 1970, ketika sedang mengandung Maya, Heldy bermimpi di kamar mandinya terdapat banyak gambar Bung Karno, tapi tiba-tiba gambar-gambar itu berjatuhan. Keesokan harinya ia mendengar dari radio, Bung Karno wafat. Heldy menangis sendiri di ruang tamu. Hingga saat pemakaman di Blitar esok harinya, Heldy hanya bisa mengantar dalam tangis di rumahnya. Kandungannya terlalu besar untuk bepergian.

Tak terasa waktu berlalu cepat. Kesibukan di Dharma Wanita dan membesarkan enam anak telah menghapus rasa duka Heldy Djafar. Hingga suatu hari di tahun 1992, bersama rombongan Dharma Wanita Heldy berziarah ke Blitar. Air matanya tumpah lagi di sana. Andai saja ia tahu Bung Karno akan pergi selamanya, ia akan berusaha merawatnya sampai detik ajal mengambilnya.

Itulah kisah cinta Heldy Djafat sang cinta terakhir presiden Bung Karno. Semoga kisah ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, semoga bermanfaat.

0 Comments


EmoticonEmoticon