JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menanggapi ucapan Sekjen PDI-P Hasto Kristianto yang mengkritik Prabowo Subianto dan sejumlah tokoh yang menolak penetapan presidential threshold (PT) 20 sampai 25 persen.
Menurutnya, UU Pemilu dengan PT 20 persen bukan hanya lelucon politik dan menipu rakyat.
"Tetapi yang menyetujui UU Pemilu tersebut kurang waras dan melanggar Hak konstitusi para pemilih pemula dan menganggap rakyat bodoh hanya demi memulai sebuah rencana kecurangan dalam Pemilu 2019,” tegas Wakil Ketua Umum Gerindra, Senin (31/7/2017).
Dirinya menjelaskan maksud kata tidak waras. Pihak yang menyetujui UU Pemilu 2019 dengan PT 20 persen dimana Pileg dan Pilpres 2019 diselenggarakan bersamaan dan Capres maju dengan syarat PT 20 persen.
"Jika yang dijadikan dasar PT 20 persen adalah hasil perolehan suara dan kursi di DPR RI Pemilu 2014. Artinya, pemilih pemula pada Pemilu 2019 dan Pilpres 2019, kehilangan hak konstitusinya mengusung seseorang Calon Presiden," kata Arief.
"Karena mereka pada tahun 2014 belum bisa memberikan suaranya sebagai dasar PT 20 persen untuk mengusung capres-cawapres pada Pemilu 2019," tambahnya.
Arief menuding, Presiden Jokowi dan PDI Perjuangan bersama pendukungnya (parpol pendukung pemerintah) membohongi masyarakat.
"Dan kurang sampai otaknya mikir tentang sebuah arti Hak Konstitusi warga negara dalam negara yang berdemokrasi. Jadi, wajar saja kalau PDIP sering disamakan dengan PKI, habis sering buat lawak politik dan nipu rakyat sih," katanya.
Sebelumnya diberitakan, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyayangkan pernyataan Ketua Umum PartaiGerindra Prabowo Subianto perihal ambang batas pencalonan presiden sebagai lelucon politik.
Apalagi, pernyataan politik tersebut tidak terlepas dari ambisi untuk kembali mencalonkan diri pada Pemilu Presiden 2019 mendatang.
"Jangan karena ambisi jadi presiden kemudian keputusan yang sah direduksi. Sekali lagi, hanya karena ambisi," kata Hasto, dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/7/2017).
Untuk itu dirinya mengajak semua pihak menerima ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu yang sudah disahkan dalam paripurna DPR RI. Opsi ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional didukung mayoritas fraksi di DPR.
Selain PDI-P, opsi ini juga didukung parpol koalisi pendukung pemerintah lain seperti Golkar, Nasdem, Hanura, PPP dan PKB. Adapun Gerindra, bersama Demokrat, PKS dan PAN mendukung opsi ambang batas pencalonan presiden dihapuskan atau 0 persen.
Karena kalah suara, empat fraksi tersebut walk out dari ruang sidang paripurna dan RUU pemilu dengan ambang batas pencalonan presiden 20-25 persen disahkan menjadi UU secara aklamasi dalam rapat paripurna, Jumat (21/7) dini hari.
Hasto mengatakan menang dan kalah dalam berpolitik merupakan hal biasa dan harus disikapi secara ksatria.
"Dengan jalan ksatria PDI-P menerima keputusan politik di DPR walau sering diambil atas kekuatan menang menangan semata," ucap Hasto.
Dia mencontohkan, saat awal Jokowi terpilih menjadi Presiden, parpol pendukung Prabowo yang saat itu tergabung dalam koalisi merah putih mengubah ketentuan dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Dengan perubahan itu, PDI-P sebagai pemenang pemilu legislatif tidak otomatis menduduki kursi pimpinan DPR. Pemilihan pimpinan dilakukan dengan sistem paket.
PDI-P dan koalisi pendukung Jokowi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat pun kalah dalam perebutan kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan dewan. Namun PDI-P, kata Hasto, bisa menerima kekalahan itu.
"Mereka memotong suara rakyat sehingga apa yang disuarakan rakyat tidak tercerminkan di DPR. Tapi PDI-P yakin politik beretika harus dikedepankan," ucap Hasto.
0 Comments
EmoticonEmoticon